Eric Weiner, jurnalis, termasuk orang yang beruntung. Suka berpergian dan bisa keliling dunia dengan dana pihak lain, sebagai koresponden asing sebuah radio. Tahu apa yang dimanfaatkannya? Menulis sebuah buku! Bukan buku traveling biasa, karena ia menghabiskan waktu satu tahun untuk menyelidiki negara yang paling membahagiakan.  Apa ukurannya? Bagaimana geografi memegang peranan penting?
Jumlah penelitian Weiner itu mencakup 10 negara di beberapa benua. Tiap negara dibahas perbab dengan judul yang sebetulnya, secara umum terlihat sudah cukup "menyimpulkan". Namun tetap saja menggelitik :
 
  • Belanda - kebahagiaan adalah angka
  • Swiss - kebahagiaan adalah kebosanan
  • Bhutan -  kebahagiaan  adalah kebijakan
  • Qatar -  kebahagiaan adalah menang lotre
  • Islandia - kebahagiaan adalah kegagalan
  • Moldova -  kebahagiaan adalah berada di suatu tempat lain
  • Thailand - kebahagiaan adalah tidak berpikir
  • Britania Raya  - kebahagiaan adalah karya yang sedang berlangsung
  • India - kebahagiaan adalah kontradiksi
  • Amerika - kebahagiaan adalah rumah


Penasaran? 

The Geography of Bliss memang bukan sekedar catatan perjalanan ala traveler backpacker yang pergi kemana kaki mau. Ini adalah sebuah "pencarian" kebahagiaan pribadi Weiner yang menggabungkan ilmu psikologi, sosiologi, dan lainnya. Tanpa melupakan humor, tentu saja, dalam penulisannya.  Kalau tidak buku ini akan terbaca bak jurnal ilmiah nan garing. 

Seperti yang disebutkan di judul, ini adalah "Kisah Seorang Penggerutu yang Berkeliling Dunia Mencari Negara Paling Membahagiakan". Tapi saya, sih,  nggak merasa kalau Weiner menggerutu, malah tampak kocak menyikapi "culture shock" yang dialami. Spontan, bertanya kepada penduduk setempat apa makna kebahagiaan bagi mereka? Jawaban2 mereka tidak ada yang bikin bosan.
 
Saya menikmati "perjalanan" Weiner lebih dari kisah traveling umum yang lain. Bersama puluhan fakta2 baru yang aneh tapi nyata. Terkagum-kagum ternyata di Belanda ada titel Profesor Penelitian Kebahagiaan.  Bagaimana orang kaya Swiss lebih suka menyembunyikan fakta bahwa mereka kaya. Orang Kaya Baru (OKB) yang suka pamer dianggap berpenyakit mengerikan dan dicurigai diam-diam punya masalah finansial! Lalu "Gross National Happiness", indikator kebahagiaan di Bhutan. Dan bagaimana negara sekaya Qatar ternyata ditakdirkan tidak mempunyai budaya, mereka "menyewa" budaya lain.
 
Secara umum saya juga bisa melihat bahwa kebanyakan orang Asia memang mengedepankan spiritualitas dalam menerjemahkan arti bahagia. Barat dan beberapa tempat di Timur jauh lebih skeptis dan analitik
 
Kesimpulan Karma Ura, cendekiawan dari Buthan rasanya cukup :
 
"Tidak ada yang namanya kebahagiaan pribadi. Kebahagiaan seratus persen bersifar relasional."
 
Buku ini sebetulnya bisa lebih menarik lagi seandainya kualitas terjemahannya ditingkatkan. Cukup lama membaca kalimat demi kalimat yang tampak rumit  njelimet, padahal mungkin bahasa Inggrisnya sederhana. Ada bab yang saya bisa "telan" dengan cepat dan ada yang cukup lama dikunyah. 

Bab favorit saya adalah tentang India. Tempat dimana kebahagiaan dan kesengsaraan berjalan harmonis. Mulai dari sana terjemahan membaik. Yang jelas saya jadi ingin sekali membaca versi Inggrisnya. Karena membaca versi Indonesia seperti naik kendaraan di jalan berpolisi tidur. Padahal hati sudah ingin tancap gas seperti di jalan toll...ohlalala....terpaksa jalan melipir, pelaaan...Berkurang nilainya satu.
 
Lepas dari itu, bagi pencari arti kebahagiaan, tukang jalan-jalan, atau mereka yang ingin tahu tentang budaya lain, santap saja buku ini! Kalau mampu, baca yang aslinya.

Gambar fitur : pixabay.com